Andai Pendidikan di Indonesia Seperti Ini

Sekolah merupakan tempat seorang remaja mendapat pendidikan agar bisa menghadapi masalah dan berbagai tantangan kehidupan di usia dewasa. Begitu pentingnya pendidikan sehingga sektor ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Perhatikan negara Jepang. Pasca pengeboman kota Hirosima dan Nagasaki, hal pertama yang ditanyakan setelah luluhnya dua kota besar tersebut adalah "Berapa banyak guru yang tersisa?" Sebuah negara maju seperti Jepang sangat memperdulikan pendidikan karena sadar bahwa kemajuan negara dapat dicapai jika pendidikan dikelola dengan baik.

Melalui pendidikan, tindakan merugikan negara seperti korupsi bisa dicegah sehingga pembangunan akan menjadi lancar. Dengan begitu, kualitas suatu bangsa akan meningkat.

Saya sebagai seorang guru honor alias guru tidak tetap memiliki harapan yang sangat tinggi pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Saya sangat berharap pemerintah dapat menerapkan sistem pendidikan yang lebih baik bagi bangsa ini. Menerapkan sebuah sistem yang menguntungkan banyak pihak.

Adanya perilaku menyimpang berupa pelanggaran peraturan sekolah oleh siswa menggambarkan ketidaknyamanan pada sistem yang ada di suatu sekolah. Mangkirnya siswa pada saat jam pembelajaran bukan salah siswa sepenuhnya. Mungkin siswa tersebut merasa jenuh bertahan di kelas untuk mengikuti pembelajaran dengan durasi yang begitu panjang setiap harinya.

Sistem peningkatan kesejahteraan berupa pemberian tunjangan profesi melalui program sertifikasi pendidikan untuk guru menjadikan beberapa guru memiliki sikap materialistis dan konsumtif. Sementara itu, banyak guru honorer yang mengeluh berkaitan dengan penghasilan tidak layak yang diperoleh.

Beginilah potret sistem pendidikan yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini.

Bagaimana negara ini bisa maju kalau pemerintah masih mempertahankan sistem pendidikan seperti ini. Saya hanya bisa mengandai-andai mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah komponen pendidikan yang sangat kecil, saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa menjalankan amanat pendidikan semaksimal mungkin dengan peran yang saya jalankan saat ini sebagai guru honorer.

Andai banyak siswa perkelas di sekolah negeri maksimal 30 orang

Sebagai seorang guru di sekolah negeri saya merasakan sulitnya mengelola kelas dengan siswa yang begitu banyak. Terlebih pada saat melaksanakan evaluasi. Apalagi sekolah tempat saya mengajar ini menerapkan kurikulum 2013 dimana sistem evaluasinya begitu berjibun. Evaluasi siswa meliputi ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan kriteria masing-masing yang poin-poinnya tidak sedikit.

Guru juga sulit membagi fokus dan perhatian untuk masing-masing siswa karena terlalu divergen. Terlalu banyaknya siswa pada suatu kelas mengakibatkan peran tiap siswa menjadi kurang maksimal karena kesempatan yang diperoleh masing-masing siswa untuk dapat "menonjol" di kelas semakin sedikit.

Andai dalam satu kelas hanya terdiri dari siswa kurang dari 30, pengelolaan kelas akan menjadi lebih efektif dan maksimal.

Andai mata pelajaran dan beban pada tiap mata pelajaran pelajaran dikurangi

Bagaimana jadinya apabila seseorang dihadapkan pada masalah yang begitu beragam. Tentu, dalam menyelesaikannya tidak akan maksimal. Begitu pula yang saya amati pada diri siswa. Banyak keluhan yang dikeluarkan siswa baik secara langsung atau pun tidak langsung terkait banyaknya mata pelajaran di sekolah. Bukankah lebih baik jika mata pelajaran lebih difokuskan pada minat siswa, sehingga siswa tidak terlalu terbebani dalam mengikutinya.

Bayangkan, seorang siswa belajar tidak kurang dari 12 mata pelajaran. Kalau saja setiap guru mata pelajaran memberikan tugas, ada 12 tugas yang harus diselesaikan siswa. Tidak ada waktu lebih yang dapat digunakan untuk mengembangkan potensi yang dimilinya. Akibatnya, siswa lulusan sekolah akan menjadi produk yang hanya mampu menyelesaikan masalah pada aspek-aspek terkait keilmuan saja tanpa mampu mengaplikasikannya pada masalah dunia nyata. Skil di bidang kreativitas dan ilmu terapan menjadi kurang terasah.

Masalah yang dihadapi siswa terkait mata pelajaran tidak cukup sampai di situ. Masing-masing mata pelajaran memuat pokok bahasan yang begitu banyak. Sebagai guru matematika di sekolah yang menjalankan kurikulum 2013, saya mengamati bahwa untuk satu semester siswa mempelajari sebanyak 6 pokok bahasan pada mata pelajaran matematika umum. Sedangkan siswa kelas peminatan MIPA masih harus belajar kurang lebih 3 pokok bahasan lagi pada matematika peminatan. Bukankah sangat melelahkan belajar 6-9 BAB untuk satu mata pelajaran matematika dalam satu semester. Ini hanya contoh di matematika, belum di mata pelajaran lainnya.

Pembaruan:
Setelah kurikulum 2013 revisi, beban mata pelajaran matematika menjadi lebih rasional. Pokok bahasan pada setiap semesternya tidak lagi terlalu banyak.

Andai jam pelajaran siswa dikurangi

Jam pelajaran di Indonesia layaknya jam kerja karyawan di suatu perusahaan. Bayangkan saja, seorang siswa harus mengikuti kegiatan di sekolah mulai dari pukul 7 pagi hingga 15 sore (biasanya kalau Jumat sampai pukul 11-an) dari Senin sampai Sabtu (ada juga yang sampai Jumat).

Pembaruan:
Saat ini banyak sekolah memberlakukan jam belajar 5 hari. Senin - Kamis (7-15.45), Jumat (7-11.30).

Dengan jam pelajaran yang begitu banyak, siswa hanya memiliki waktu luang sedikit untuk melakukan kegiatan lain di luar kegiatan pembelajaran sekolah. Waktu untuk pengembangan diri dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler juga sangat terbatas. Kegiatan di luar sekolah seperti les musik, les tambahan di bimbingan belajar, dan sebagainya menjadi tidak maksimal. Bahkan, seorang siswa harus rela mengikuti les pada malam hari. Karena begitu padatnya kegiatan siswa, tugas pekerjaan rumah pun berganti nama menjadi pekerjaan bimbel, karena hanya sempat diselesaikan di tempat bimbel.

Ironisnya, orang tua banyak yang menyetujui banyaknya jam pelajaran di sekolah. Alasannya, agar bisa disinkronkan dengan jam kerja mereka. Seolah mereka melepas tanggung jawab mendidikan anaknya dan menyerahkannya ke pihak sekolah. Padahal, durasi bekerja seorang dewasa tidak bisa disamakan dengan durasi belajar anak-anak dan remaja usia sekolah. Durasi belajar yang terlalu panjang akan membuat siswa kelelahan. Pada suatu titik tertentu siswa akan merasa jenuh sehingga menyebabkan kegiatan pembelajaran tidak berjalan maksimal.

Andai sistem kepegawaian guru diperbaiki

Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah guru. Tanpa adanya guru, pendidikan di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Sayangnya profesi guru masih menjadi pilihan kedua bagi beberapa lulusan sekolah di negeri ini. Walaupun tidak sedikit juga orang yang meninginkan berprofesi sebagai guru.

Adanya dualisme guru PNS dan non-PNS membuat profesi ini terlihat kurang sempurna. Memang, ketika menjalankan tugas, tidak terlihat perbedaan yang mencolok dari keduanya. Tapi dalam hal penghasilan, terlihat perbedaan yang sangat jelas dari keduanya. Dengan beban tugas yang sama, guru PNS mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar dibanding guru non-PNS khususnya guru honor di sekolah negeri. Lain halnya dengan guru di sekolah swasta. Penggajiannya ditentukan oleh yayasan yang membawahinya.

Sistem rekrutmen guru yang disamakan dengan rekrutmen PNS non-guru membuat lulusan perguruan tinggi LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) "menganggur" dalam jangka waktu yang tak tentu. Seorang sarjana pendidikan merasa bingung menentukan dimana harus bekerja untuk menerapkan ilmu yang diperolehnya selama kuliah. Akhirnya, banyak calon guru yang bekerja di tempat pendidikan non-formal seperti lembaga bimbingan belajar. Teori yang diperoleh selama kuliah --semestinya diterapkan di tempat pendidikan formal (sekolah)-- seolah menguap begitu saja karena tidak bisa langsung diterapkan.

Adapun alternatif lainnya adalah "terpaksa" menjadi guru honor. Dikatakan terpaksa karena di Indonesia ini tidak ada mekanisme yang jelas mengenai rekrutmen guru di sekolah negeri tanpa melalui seleksi PNS yang dilaksanakan bersama calon PNS non-guru. Sementara itu, sekolah membutuhkan tambahan tenaga pendidik karena guru yang tersedia tidak dapat memenuhi jam pelajaran di sekolah tersebut. Jadilah sekolah membuat mekanisme tersendiri dengan merekrut tenaga pendidik dan kependidikan bernama tenaga honorer.

Tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer membuat tidak jelasnya sistem pembayaran upah honor di sekolah negeri. Andai saja ada satu pintu khusus yang menangani sistem kepegawaian guru, lulusan terbaik perguruan tinggi LPTK tidak akan kelimpungan mendapatkan pekerjaan menjadi guru sehingga bisa menerapkan ilmunya di sekolah pilihannya.

Andai guru diberikan fasilitas yang dapat menunjang proses pembelajaran

Tunjangan profesi guru merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan motivasi guru. Tunjangan diperoleh secara tunai dan diterima langsung oleh guru pada waktu tertentu. Adanya program ini membuat guru dapat memperoleh penghasilan yang cukup besar dibanding sebelum diadakannya program ini. Sayangnya, "tambahan penghasilan" ini membuat beberapa guru menjadi konsumtif. Uang yang diperoleh dari tunjangan dihabiskan untuk kebutuhan konsumsi. Jarang ditemui guru yang memanfaatkan tunjangan profesi untuk belanja keperluan penunjang proses pembelajaran seperti untuk membeli proyektor, printer, dan sebagainya.

Andai saja pemerintah mengganti tunjangan profesi guru yang asalnya berupa uang tunai menjadi barang atau fasilitas yang dapat menunjang pembelajaran. Sepertinya guru akan lebih inovatif dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas atau di luar kelas.

Perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik tidak bisa dilaksanakan oleh beberapa komponen saja. Terlebih, kebijakan tertinggi dipegang oleh pemerintah. Sekolah, apalagi guru tidak bisa sembarangan menerapkan sistem yang dirasa lebih baik tanpa adanya instruksi dan keputusan dari pemerintah melalui kementrian pendidikan.

Oleh Opan
Dipostkan April 07, 2018
Seorang guru matematika yang hobi ngeblog dan menulis. Dari ketiganya terwujudlah website ini sebagai sarana berbagi pengetahuan yang saya miliki.

Demi menghargai hak kekayaan intelektual, mohon untuk tidak menyalin sebagian atau seluruh halaman web ini dengan cara apa pun untuk ditampilkan di halaman web lain atau diklaim sebagai karya milik Anda. Tindakan tersebut hanya akan merugikan diri Anda sendiri. Jika membutuhkan halaman ini dengan tujuan untuk digunakan sendiri, silakan unduh atau cetak secara langsung.